Tinjauan Perjanjian New York
15 Agustus 1962 Pasal XVIII
Oleh : John Anari, Amd. T
Sumber: Frits Kirihio (Tokoh Sejarah Papua).
Sumber: Frits Kirihio (Tokoh Sejarah Papua).
Piagam PEPERA
Sumber: DEPEN RI
“Indonesia will make arrangements, with the assistance and
participation of the United Nation Representative and his staff, to give
the people of the territory the opportunity to exercise freedom of
choice. Such arrangements will include: (a) Consultations (Musyawarah)
with the representative councils on procedures l and appropriate methods
to be followed for ascertaining the freely expressed will of the
population; (d) The eligibility of all adults, male and female, not
foreign nationals, to participate in the act of self-determination to be
carried out in accordance with international practice, who are resident
at the time of the signing of the present Agreement and at the time of
the act of self-determination, including those residents who departed
after 1945 and who return to the territory to resume residence after the
termination of Netherlands administration.”
Foto Bersama Setelah Penanda Tanganan Perjanjian New York 15 Agustus 1962.
Sumber: John Anari Document.
Sumber: John Anari Document.
Kiri Sekjen PBB Uthan; Wakil Indonesia: DR. Soebandrio Wakil Belanda: DR. Van Royen
Sumber: John Anari Document
Sumber: John Anari Document
Berdasarkan Pasal XVIII Perjanjian New York, dinyatakan secara jelas
bahwa Pemerintah Indonesia akan melaksanakan pepera dengan bantuan dan
partisipasi dari utusan PBB dan Stafnya untuk memberikan kepada rakyat
yang ada di Papua kesempatan menjalankan penentuan pendapat secara
bebas. Kemudian melakukan konsultasi dengan Dewan-Dewan Kabupaten yang
ada di Papua untuk membicarakan metode pelaksanaan pepera ini.
Selanjutnya, seluruh orang dewasa, baik laki-laki atau perempuan
memiliki hak pilih untuk berpartisipasi dalam penentuan nasib sendiri
yang akan dijalankan sesuai dengan aturan internasional. Dimana mereka
yang punya hak pilih itu adalah mereka yang tinggal di Papua saat
Perjanjian New York ditandatangani dan mereka yang berada di Papua
ketika PEPERA dilaksanakan, termasuk mereka penduduk Papua yang
meninggalkan Papua setelah 1945 dan kembali ke Papua dan menguruskan
kembali kependudukannya setelah berakhirnya pemerintahan Belanda.
Namun ternyata Pemerintah Indonesia hanya melakukan konsultasi dengan
Dewan Kabupaten di Jayapura tentang tatacara penyelenggaraan PEPERA
pada tanggal 24 Maret 1969. Kemudian diputuskan membentuk Dewan
Musyawarah PEPERA (DMP) dengan anggota yang berjumlah 1026 anggota dari
delapan kabupaten, yang terdiri dari 983 pria dan 43 wanita.
Tabel Perbandingan Peserta DMP dan Total Penduduk Papua Tahun 1969
Sumber: Editor by John Anari
Sumber: Editor by John Anari
Yang mana, para anggota DMP itu ditunjuk langsung oleh Indonesia
(Tidak melalui Pemilihan Umum di tiap-tiap Kabupaten) dan dibawah
intimidasi serta ancaman Pembunuhan oleh Pimpinan OPSUS (Badan Inteligen
KOSTRAD) Mr. Ali Murtopo.
Sedihnya lagi, para anggota DMP itu ditampung di suatu tempat khusus
dan dijaga ketat oleh Militer sehingga mereka (anggota DMP red) tidak
bisa berkomunikasi atau dipengaruhi oleh keluarga mereka. Setiap hari
mereka hanya diberi makan nasehat supaya harus memilih bergabung dengan
Indonesia agar nyawa mereka bisa selamat.
Komandan OPSUS: Brig.Jend. Ali Murtopo
Sumber: Wikipedia
Sumber: Wikipedia
Sebelum menjelang PEPERA yang dimulai di Merauke pada tanggal 14 Juli
1969 dan di akhiri di Jayapura pada tanggal 4 Agustus 1969, datanglah
suatu tim dari Jakarta yang diketuai oleh Sudjarwo Tjondronegoro, SH.
Tim tersebut tiba di Sukarnopura (Hollandia/Kota Baru / Sekarang
Jayapura ) dan kemudian didampin- gi oleh beberapa anggota DPRGR
Propinsi Irian Barat untuk berkeliling ke setiap kabupaten se Papua
Barat. Tim ini mengadakan pertemuan-pertemuan awal dengan para tokoh
masyarakat dan adat untuk menyampaikan tekhnis-tekhnis pelaksanaan
PEPERA bila tiba hari H. Pelaksanaan PEPERA adalah secara formalitas
saja, untuk memenuhi New York Agreement, maka diusahakan untuk secara
aklamasi dan bukan secara perorangan. Agar bunyi penyampaian agar
seragam, maka akan disiapkanlah konsep-konsepnya dan Anggota DMP tinggal
baca saja dan bagi mereka yang tidak bisa baca/tulis disuruh menghafal
untuk kelancaran pelaksanaan PEPERA. Para anggota DMP kemudian ditampung
di suatu penampungan khusus dan dijaga ketat oleh Militer serta selalu
diteror-teror oleh Pimpinan OPSUS (Mr. Ali Murtopo Pimpinan Badan
Inteligen Kostrad). Mereka berkali-kali diujicoba untuk meyakinkan bahwa
nantinya penyampaian pendapat tidak berbeda satu dengan yang lain.
Semuanya harus memilih “Papua Barat menjadi bagian integral dari
Indonesia”. Tim dari Jakarta melakukan kegiatan keliling Papua Barat
tanggal 24 Maret hingga 11 April 1969. Surat Keputusan (SK) Menteri
Dalam Negeri (MENDAGRI) 31/1969 menetapkan jumlah anggota Dewan
Musyawarah PEPERA (DMP). Tanggal 25 Maret 1969 dibentuklah anggota
panitia pembentukan DMP. Setiap kabupaten ditunjuk 9 orang. Maka dari 8
kabupaten yang ada terdapat jumlah 72 orang yang ditunjuk untuk menjadi
anggota Panitia Pembentukan DMP. Setiap kabupaten dipilih anggota DMP
oleh Indonesia serta sesuai dengan konsep dan perencanaan Pemerintah
Jakarta.
Pembukaan PEPERA di Kabupaten Merauke pada 14 Juli 1969.
Sumber: DEPEN RI, capture by John Anari
Sumber: DEPEN RI, capture by John Anari
Kemudian pelaksanaan sidang dapat dilakukan di setiap kabupaten.
Teknis pelaksanaan telah diatur sedemikian rupa sehingga jumlah 1.025
orang ini juga terdiri dari, bukan saja bangsa pribumi, tapi juga bangsa
pendatang dari Indonesia. yang dalam waktu singkat telah menjadi
pegawai negeri, petani, nelayan, sejak 1963. Bangsa pendatang diberi
status yang sama dengan penduduk pribumi untuk dapat menjadi anggota
DMP. Sorong, Manokwari, Biak dan Numbay (Jayapura) dianggap sebagai
daerah rawan. maka menjelang July 1969 telah didropping pasukan untuk
mengawasi jalannya PEPERA, yaitu : KOPASANDA (sekarang KOPASUS), Raider,
dan Polisi. Sehingga akhirnya dengan rasa sedih yang dalam terpaksa
para anggota DMP itu harus memilih Bergabung dengan NKRI di depan Utusan
PBB Mr. Fernando Ortisan. Walaupun ada terjadi sedikit gerakan protes
oleh rakyat Papua di luar gedung PEPERA tetapi disapuh bersih oleh
Militer Indonesia dengan Senjata dan Meriam, diculik, dibunuh, disiksa,
dan dihina-hina bahwa orang Papua bodoh. Para wartawan pada saat itu pun
juga dilarang oleh Militer Indonesia untuk meliput proses Penentuan
Pendapat itu.
Photo: Situasi Pelaksanaan PEPERA dalam Ruangan Tertutup dan Rahasia di Fakfak
Sumber: DEPEN RI, capture by John Anari
Sumber: DEPEN RI, capture by John Anari
Sayangnya, mengapa tak ada Pasukan PBB yang mengawasi tetapi justru
diawasih oleh Tentara Indonesia yang jumlahnya melebihi utusan PBB.
Setelah berakhirnya proses Jajak Pendapat (Self Determination )
tersebut, para anggota DMP tersebut diberi Radio, Gergaji, dan
Sekap/Ketam serta dijanjikan akan diberi uang. Kemudian pada tahun 1976
mereka (Anggota DMP) diberi piagam penghargaan dengan uang tunai Rp.
200.000,- lalu tahun 1992 pada saat PEMILU bekas anggota DMP diberikan
uang Rp. 150.000,-. Uang berjumlah Rp. 14 milyard yang dikirim dari
Jakarta untuk bekas anggota DMP sebagian besar dikorupsi oleh para
pejabat tinggi yang ditugaskan dari Jakarta.
Apakah Proses Jajak Pendapat di Tanah Papua itu sudah sesuai dengan
Aturan Internasional yang termuat dalam Perjanjian New York 15 Agustus
1962 Pasal 18 ? Ternyata pelaksanaan PEPERA itu hanya Formalitas karena
mengikuti Perjanjian Roma Tanggal 30 September 1962 Ayat 1 yang berbunyi
PEPERA dibatalkan atau bila perlu dihapuskan saja. Tetapi pada ayat 2
mengatakan bahwa Indonesia mengurus Papua hanya 25 Tahun saja, terhitung
mulai 1 Mei 1963. (Info lengkap tentang Perjanjian Roma bisa dilihat di
http://www.oocities.org/west_papua/Rome_Agreement.htm).
Dengan adanya perjanjian ini, maka Indonesia bisa masuk ke Papua
mulai tanggal 1 Mei 1963, mengirim Transmigrasi mulai tahun 1977,
menerima bantuan Dana PBB sebesar US $. 30 Juta untuk membangun Papua,
Dana ini disebut FUNDWI (Fund United Nation Donatur for West Irian).
Dana ini dipakai oleh Pemerintah Indonesia untuk membangun Perhubungan
Laut, Darat, dan Udara tetapi sayangnya Pelabuhan Laut, Darat, dan Udara
pada tahun 60-an tak ada perubahan apapun juga karena itu masih seperti
peninggalan Belanda. Namun sekitar tahun 1980-an baru mulai ada
perubahan. Selain itu, juga telah diadakan penanda tanganan kontrak
karya Freeport McMoran pertama pada tahun 1967 sebelum Referendum 1969
karena dalam Rome Agreement telah diberikan ijin kepada Amerika untuk
menanam Saham di Indonesia demi kemajuan Papua.?
Dengan adanya Perjanjian Roma ini, maka Papua tidak disahkan dengan
Ketetapan MPR atau Undang-Undang seperti Timor Leste yang dipaksakan
gabung ke NKRI dengan Ketetapan MPR namun sudah dicabut oleh Ketetapan
MPR lagi karena East Timor telah Merdeka. Karena itulah, tak ada
kepastian hukum di Negara Indonesia untuk menjamin Hak-hak Orang Papua
sebagai Warga Negara Indonesia. Kalau memang PEPERA sah, mengapa tidak
disahkan oleh Ketetapan MPR/UU melainkan hanya disahkan menjadi Provinsi
27 suatu Penetapan Presiden (Penpres) no 1 tahun 1963. Kemuadian
Penpres no 1 tahun 1963 ini tidak pernah dimajukan ke Parlemen untuk
ditetapkan sebagai Peraturan Pemerintah Pengganti UU sesuai dengan bunyi
pasal 20 UUD 1945. Dengan PENPRES ini pula diberlakukannya Otonomi
Khusus pertama bagi Papua namun setelah Soekarno dijatuhkan dengan Isu G
30 S PKI, maka dicabutlah kedudukan Khusus itu oleh Presiden Soeharto
melalui Ketetapan MPRS no.21 Tahun 1966 Pasal 6. Lalu dikembalikan lagi
menjadi Otonomi Khusus kedua dengan UU no.21 tahun 2000 oleh Presiden
Megawati.
Berdasarkan hal tersebut sehingga tidak adanya kepastian hukum untuk
menjamin hak hidup orang Papua di dalam Negara Kesatuan Indonesia. Atau
secara kasar status Papua adalah daerah (tanah Jajahan) di dalam Negara
Indonesia. Akibatnya penduduk tanah Papua tidak turut menikmati hak-hak
warga sipil, timbul diskriminasi rasial yang selalu memojokan orang
Papua itu Hitam, Keriting, Bodoh, Monyet, Bau, dan tidak pantas bekerja
di luar pulau Papua sebagai pekerja handal seperti : Teknisi, Pejabat
Pemerintah maupun Swasta. Salah satu contoh dapat kita lihat di
perusahaan Raksasa yang sekarang beroperasi di Papua seperti Freeport
dan BP. Di BP hanya terdapat 6 orang Papua sebagai Tenaga Engineer namun
karena adanya diskriminasi sehingga 1 orang Geologi telah mengundurkan
diri. Lalu 1 orang Staff IT (Information and Technology) telah
dikeluarkan dari BP karena ia banyak memprotes tentang Diskriminasi
terhadapnya di Departemen DCT (Digital Communication and Technology) BP
Indonesia. Sehingga sekarang tenaga Engineer orang Papua di BP hanya
tinggal 4 orang yaitu 1 orang Kimia, 1 orang Geologi, dan 2 orang IT.
Sedangkan tenaga Engineer lainnya ditutupi oleh kaum pendatang, dan ada
beberapa kritikan dari Perfomance Manager DCT bahwa BP tidak butuh orang
Papua di IT tetapi karena kasihan makanya diterima orang Papua. Selain
itu, Pemain sepak Bola PERSIPURA pun banyak dihina “Monyet” pada saat
bertanding di luar Jayapura. Masih banyak kasus diskriminasi rasial
terhadap orang Papua dan akan terus berlangsung selama daerah Papua
berada dalam NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia).
Tambang PT. Freeport Indonesia di Gunung Grasberg – Tembagapura
Sumber: Download dari google
Sumber: Download dari google
Lokasi BP LNG Tangguh di Tanah Merah – Teluk Bintuni
Sumber: BP Indonesia
Sumber: BP Indonesia
Jadi, kesimpulannya bahwa
proses jajak Pendapat (Act of Free Choice/Self Determination) tahun 1969
tidak sesuai dengan pasal 18 Perjanjian New York yang ditanda-tangani
di Markas Besar PBB, New York – Amerika Serikat pada tanggal 15 Agustus
1962.
0 komentar:
Posting Komentar