Hukum Humaniter Internasional (Hukum Perang Internasional)
Asas-asas Hukum Humaniter Internasional (Perang Internasional)
In Introduction to IHL on November 15, 2008 at 6:43 pm
Hukum Humaniter atau dikenal juga dengan nama Hukum Perang atau Hukum
Sengketa Bersenjata, mengandung asas-asas pokok yaitu asas kepentingan
militer (military necessity), asas perikemanusiaan (humanity) dan asas kesatriaan (chivalry). Ketiga asas ini selalu melandasi aturan-aturan yang terdapat di dalam hukum humaniter.
Seorang ahli bernama Kunz menyatakan bahwa “laws of war, to be
accepted and to be applied in practice, must strike the connect balance
between, on the one hand, the principle of humanity and chivalry; and
the other hand, military interest“.
Jadi, walaupun Hukum Humaniter mengatur peperangan itu sendiri akan
tetapi pengaturannya tidak dapat hanya semata-mata mengakomodir asas
kepentingan militer dari pihak yang bersengketa saja, melainkan pula
harus mempertimbangkan ke dua asas lainnya. Demikian pula sebaliknya,
aturan-aturan Hukum Perang tidak mungkin hanya mempertimbangkan aspek
kemanusiaan dari peperangan itu tanpa mempedulikan aspek-aspek operasi
militer. Tanpa adanya keseimbangan dari ke tiga asas-asas ini, maka
mustahil akan terbentuk aturan-aturan mengenai Hukum Perang.
Berikut ini akan dijelaskan masing-masing asas tersebut :
A. Asas Kepentingan Militer (Military Necessity)
Asas ini mengandung arti bahwa suatu pihak yang bersengketa
(belligerent) mempunyai hak untuk melakukan setiap tindakan yang dapat
mengakibatkan keberhasilan suatu operasi militer, namun sekaligus tidak
melanggar hukum perang.
Asas kepentingan militer ini dalam pelaksanaannya sering pula
dijabarkan dengan adanya penerapan prinsip pembatasan (limitation
principle) dan prinsip proporsionalitas (proportionally principle).
a. Prinsip Pembatasan (Limitation Principle)
limitation1Prinsip pembatasan adalah suatu prinsip yang menghendaki adanya pembatasan terhadap sarana atau alat serta
cara atau metode berperang yang dilakukan oleh pihak yang bersengketa,
seperti adanya larangan penggunaan racun atau senjata beracun, larangan
adanya penggunaan peluru dum-dum, atau larangan menggunakan suatu
proyektil yang dapat menyebabkan luka-luka yang berlebihan (superfluous
injury) dan penderitaan yang tidak perlu (unnecessary suffering); dan
lain-lain.
Pada ilustrasi di samping, penggunaan tank untuk menghancurkan
sasaran militer diperbolehkan, karena merupakan senjata yang biasa
dipakai atau senjata konvensional; sedangkan penggunaan racun, senjata
beracun (kimia) pada latar belakang gambar [termasuk senjata biologi
atau nuklir (senjata non-konvensional)] tidak dapat dibenarkan karena
sifatnya yang dapat mengakibatkan kemusnahan secara massal tanpa dapat
membedakan antara objek sipil dan sasaran militer.
b. Prinsip Proporsionalitas (Proportionality Principle)
proportionalityAdapun
prinsip proporsionalitas menyatakan bahwa kerusakan yang akan diderita
oleh penduduk sipil atau objek-objek sipil harus proporsional sifatnya
dan tidak berlebihan dalam kaitan dengan diperolehnya keuntungan militer
yang nyata dan langsung yang dapat diperkirakan akibat dilakukannya
serangan terhadap sasaran militer. Perlu ditegaskan bahwa maksud
proporsional di sini BUKAN berarti keseimbangan.
Ilustrasi di samping dapat menggambarkan prinsip ini, di mana untuk
mengancurkan dua orang musuh yang membawa senapan mesin, maka tidak
perlu dikerahkan satu divisi kavaleri berupa tank-tank, karena hal
tersebut tidak hanya dapat mematikan ke dua musuh tersebut, namun
sekaligus juga dapat menghancurkan penduduk sipil dan objek-objek sipil
di sekitarnya.
Prinsip pembatasan dicantumkan di dalam Pasal 22 dan 23 Hague
Regulations (Lampiran dari Konvensi Den Haag IV, 1907, atau Regulasi Den
Haag), yang berbunyi “the rights of belligerents to adopt means of
injuring the enemy is not unlimited” atau hak dari Belligerents dalam
menggunakan alat untuk melukai musuh adalah tidak tak terbatas (jadi
maksudnya =terbatas). Adapun batasan-batasan tersebut, termasuk ke
dalamnya penjabaran prinsip proporsionalitas, dicantumkan lebih lanjut
secara rinci di dalam Pasal 23.
B. Asas Kemanusiaan (Humanity)
Berdasarkan asas ini, maka pihak yang bersengketa diharuskan untuk
memperhatikan asas-asas kemanusiaan, di mana mereka dilarang untuk
menggunakan kekerasan yang dapat menimbulkan luka-luka yang berlebihan
atau penderitaan yang tidak perlu, [3] sebagaimana tercantum di dalam
Pasal 23 ayat(e).
Berperang memerlukan persenjataan, itu sudah pasti. Yang menjadi
masalah adalah bagaimana “menggunakannya secara manusiawi”. Pasti
mungkin kita akan protes, bagaimana bisa?? Penggunaan senjata sudah
pasti tidak manusiawi, senjata sudah tentu menimbulkan luka dan
menyebabkan kematian. Lantas, apa yang dimaksud dengan Pasal ini?
Itu tiada lain disebabkan adanya asas kemanusiaan (humanity) yang
menjadi landasan pembentukan ketentuan tersebut. Memang dalam
peperangan, keterpaksaan untuk melakukan melukai musuh atau melakukan
pembunuhan menjadi sesuatu yang SAH secara hukum apabila dilakukan oleh
orang yang berhak untuk ikut serta dalam pertempuran (yakni kombatan)
dan ditujukan kepada suatu sasaran yang memang merupakan sasaran militer
(military objectives). Jika seorang prajurit dalam peperangan membunuh
tentara musuh di medan pertempuran dengan M-16, maka itu adalah hal yang
biasa. Akan tetapi, jika ia memakai M-16 berisi peluru “yang dikikir
ujungnya”, maka cara tersebut akan dianggap sebagai pelanggaran Hukum
Perang. Mengapa? bukankah musuhnya toh mati juga? (baca : korban tidak
akan merasakan bedanya ditembak dengan peluru yang dikikir/tidak
dikikir).
(1) contoh peluru dumdum
Disinilah letak perlunya asas kemanusiaan di dalam melakukan metode
berperang, yaitu tetap memperlakukan manusia secara manusiawi baik
ketika peperangan berlangsung, dan bahkan setelah suatu pihak menjadi
korban. Perlu ditegaskan bahwa penggunaan peluru yang “dikikir
ujungnya”, akan menimbulkan efek ‘melebar’ di dalam tubuh sehingga
mengakibatkan luka sobekan yang tidak beraturan dan mengakibatkan
hancurnya jaringan tubuh manusia. Peluru yang demikian
(2) Peluru biasa & peluru dumdum
disebut pula “peluru dum-dum” (dum-dum bullets; karena diproduksi
pertama kali di kota Dumdum, dekat Kalkuta, India), atau “peluru yang
memiliki efek mengembang dalam tubuh” (expanding bullets), sehingga
Hukum Humaniter sudah melarang penggunaan peluru jenis ini dalam
Deklarasi III tahun 1809. Itulah sebabnya, Regulasi Den Haag melarang
penggunaan alat dan cara berperang yang dapat menimbulkan ‘luka-luka
yang berlebihan’ dan ‘penderitaan yang tidak perlu’. Jika membunuh
dengan peluru biasa dapat mengakibatkan kematian seorang musuh; maka
mengapa pula harus mengkikirnya sehingga jasad korban menjadi hancur dan
tidak dapat dikenali? Itulah penderitaan yang tidak perlu…
C. Asas Ksatriaan (Chivalry)
Asas ini mengandung arti bahwa di dalam suatu peperangan, kejujuran
harus diutamakan. Penggunaan alat-alat yang ilegal atau bertentangan
dengan Hukum Humaniter serta cara-cara berperang yang bersifat khianat
dilarang.[4]
Asas kesatriaan tergambar di dalam hampir semua ketentuan Hukum
Humaniter. Sebagai contoh, mari kita lihat Konvensi Den Haag III (1907)
mengenai permulaan perang (the commencement of hostilities).
Berdasarkan Pasal 1 Konvensi III ini, ditentukan bahwa peperangan tidak
akan dimulai tanpa adanya suatu peringatan yang jelas sebelumnya
(previous and explicit warning), baik dalam bentuk pernyataan perang
(declaration of war) beserta alasannya, atau suatu ultimatum perang yang
bersyarat (ultimatum with conditional declaration of war).
Nah, tentu secara logika aturan ini rasanya tidak masuk akal.
Bukankah kelihatannya suatu pihak dapat memenangkan peperangan jika ia
menyerang secara diam-diam ketika pihak musuh lengah atau secara
mendadak tanpa pemberitahuan lebih dahulu? Namun pada kenyataannya,
aturan Hukum Humaniter justru menentukan sebaliknya. Hal ini tidak lain
adalah refleksi dari asas kesatriaan yang tercermin di dalam Konvensi
Den Haag III.
Contoh lain dapat dilihat pada ketentuan Pasal 23 Lampiran Konvensi
Den Haag IV yang disebut juga Regulasi Den Haag (Hague Regulations).
Kita ambil salah satu contoh saja, yaitu Pasal 23 ayat(c) yang
menetapkan bahwa seorang kombatan dari pihak negara yang bersengketa
dilarang membunuh atau melukai musuh yang telah menyerah, atau yang
tidak mampu melakukan perlawanan lagi.
Ketentuan ayat di atas, jika diperhatikan selintas, juga rasanya
tidak masuk akal. Bukankah lebih mudah untuk memenangkan pertempuran
jika pihak musuh dibunuh, dilukai atau dibuat ‘tidak berdaya’ selagi ia
menyerah atau tak mampu lagi bertempur? Namun, ternyata aturan Hukum
Humaniter menentukan sebaliknya.
Oleh karena itu, seandainya saja tidak diterapkan asas kesatriaan
dalam pembentukan ketentuan-ketentuan Hukum Humaniter, maka sudah hampir
pasti peperangan akan berlangsung dengan sangat brutal dan keji. Jika
sudah ada aturannya saja perang masih menyisakan kekejian, maka …
bagaimanakah pula jadinya jika perang berlangsung tanpa aturan…?
Sumber :
[1]Kunz, Joseph, The Changing Law of National, 1968, hal 873,
sebagaimana dikutip dalam Haryomataram, Hukum Humaniter, Rajawali,
Jakarta, 1984, hal. 34.
[2]Dictionary of Military and Associated Terms, US Department of
Defence, 2005, dapat diakses pada
http://usmilitary.about.com/od/glossarytermsm/g/m3987.htm
[3]Arlina Permanasari, Pengantar Hukum Humaniter, ICRC, Jakarta, 1999, hal. 11.
[4] Ibid.
(Transparency : Courtesy of ICRC; Images (1) dan (2): Wikipedia)
0 komentar:
Posting Komentar