KILAS BALIK LAHIRNYA KONGRES PAPUA II
KILAS BALIK LAHIRNYA KONGRES PAPUA II
Resolusi Kongres Papua II Tidak Dapat Dilaksanakan Secara Konsisten
Untuk menjawab topik yang dipilih dalam
article ini, kita mengajak para pemimpin, para pejuang dan Rakyat Bangsa
Papua Barat bahwa dapat mengikuti “Historical FlashBack” (KilasBalik Sejarah) lahirnya Kongres Papua II pada tahun 2000 di Jayapura (Port Numbay).
Untuk diketahuinya, bunyi pasal 1 ayat
1, 2 dan ayat 3 Kovenan Internasional atas Hak-Hak Sipil dan Politik
dapat diuraikan dibawah ini:
Pasal 1
1. Semua bangsa berhak untuk menentukan
nasib sendiri. Berdasarkan hak tersebut mereka bebas untuk menentukan
status politik mereka dan bebas untuk mengejar kemajuan ekonomi, sosial
dan budaya mereka;
2. Semua bangsa, untuk tujuan-tujuan
mereka sendiri dapat mengelola kekayaan dan sumber daya alam mereka
tanpa mengurangi kewajiban-kewajiban yang timbul dari kerja sama ekonomi
Internasional, berdasarkan prinsip saling menguntungkan dan hukum
internasional. Dalam hal apapun tidak dibenarkan untuk merampas
hak-hak suatu bangsa atas sumber-sumber kehidupannya sendiri;
3. Negara pihak pada Kovenan ini,
termasuk mereka yang bertanggungjawab atas penyelenggaraan wilayah tanpa
Pemerintahan Sendiri dan wilayah Perwalian, harus memajukan Perwujudan
Hak Untuk Menentukan Nasib Sendiri, dan harus menghormati hak tersebut
sesuai dengan ketentuan dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa”.
Bahasa aslinya:
Article 1
- All peoples have the rights to self-determination. By virtue of that rights they freely determine their political status and freely pursue their economic, social and cultural development;
- All peoples may, for their own ends, freely dispose of their natural wealth and resources without prejudice to any obligations arising out of international economic co-operation, based upon the principle of mutual benefit, and international law. In no case may a people be deprived of its own means of subsistence;
- The States Parties to the present Covenant, including those having responsibility for the administration of Non-Self-Governing and Trust Territories, shall promote the realization of the right of self-determination, and shall respect that right, in conformity with the provisions of the Charter of the United Nations.
Serta Resolusi Majelis Umum Perserikatan
Bangsa-Bangsa dengan nomor 1514 (XV) tentang Dekolonisasi, yang telah
di terima dan disahkan dalam Sidang Majelis Umum Perserikatan
Bangsa-Bangsa pada tahun 1960 dengan jelas menyatakan bahwa segala
bangsa mempunyai hak atas “Penentukan Nasib Sendiri” dan
berdasarkan hak tersebut mereka bebas untuk menentukan status politik
mereka serta bebas mengupayakan pengembangan kemajuan Ekonomi, Sosial
dan Budaya mereka.
Dengan argumentasi yang mendasar di
atas, seiring berkulirnya Reformasi di Indonesia pada Mei 1998, rakyat
bangsa Papua dapat membangun kekuatan baru. Kekuatan baru ini dapat
didukung penuh oleh pemuda, Mahasiswa dan masyarakat Papua Se-Jawa Bali,
dan Sulawesi untuk wilayah Indonesia Barat dan Tengah. Wujud dukungan
ini dapat dinyatakan melalui demonstrasi besar-besaran, baik di Papua
maupun diluar Papua dengan agenda-agenda prioritas yang bersifat
mendesak dan periodik dengan semangat nasionalisme yang patriotik.
Demonstrasi-demonstrasi yang dimaksud adalah:
Pertama, pada tanggal 4
Mei 1998 oleh Pemuda, Mahasiswa dan Masyarakat Papua di Jogyakarta
dengan agenda menuntut Hak menentukan nasib sendiri lebih lengkapnya
boleh ikuti archive yang telah tercatat dalam buku harian Activis HAM
Independen Papua (Sebby Sambom) yaitu: Demo pertama kali di
kantor DPRD Provinsi DIY dan berlanjut ke Kepatihan Kantor Gubernur
Daerah Istimewa Jogyakarta. Dalam Demo pertama kalangan Mahasiswa
Papua ini, telah menyampaikan beberapa tuntutan.
Isi Tuntutannya adalah:
- Hentikan Operassi Militer (DOM) di tanah papua
- Hentikan Pengiriman Transmikrasi di tanah papua
- Hentikan Keluarga Berencana di Tanah Papua
- Hentikan Genosida (Pemusnahan Ras) di Tanah Papua
- Review PEPERA 1969 dan Referendum bagi Bangsa Papua Barat.
Dan selanjutnya pada tanggal 20 Juli
1998 oleh pemuda, Mahasiswa dan Masyarakat Papua Se-Jawa, Bali dan
Sulawesi dengan menuntut agenda hak Penentuan Nasib Sendiri bangi bangsa
Papua Barat. Selengkapnya boleh ikuti archive yang telah tercatat dalam
buku harian Activis HAM Independen Papua (Sebby Sambom) yaitu: Demo
kedua dibawah Aliansi Mahasiswa Papua Se-Indonesia menuju Jakarta pada
tanggal 20 Juni 1998, dan mengibarkan Bendera Bintang Kejora di depan
Kantor UNDP atau Perwakilan PBB di Jalan Tamrin, Sarinah, Jakarta.
Mahasiswa yang ikut demonstrasi di Jakarta ini atau yang lain (termasuk
Sebby Sambom) pulang kembali ke Papua pada Minggu ketiga Bulan Juli 1998
dan melakukan awareness serta konsolidasi ke selurh Papua sesuai
wilayah masing-masing yaitu, dari Sorong sampai Merauke untuk membangun
kekuatan bersama.
Kedua, pada tanggal 1 Juli 1998
demonstrasi telah berlangsung di Kantor DPRD di Jayapura oleh activis
pro Papua Merdeka, disertai pengibaran bendera bintang kejora, namun
aksi ini ditolak oleh pihak DPRD Papua sehingga massa demonstrasi telah
mengadakan orasi-orasinya dipusatkan di Jalan Sam Ratulangi dan taman
Imbi. Pada pukul 12 malam, para demonstran dibubarkan dengan paksa oleh
aparat keamanan Pemerintah Republik Indonesia, sehingga para demonstran
mengadakan long march menuju Abepura dan bertahan di Gedung Gereja
Pengharapan, Abepura Papua. Pada tanggal 2 Juli 1998, masa demonstran
kembali turun jalan dan aksi dipusatkan di Jayapura, namun telah terjadi
bentrokan antara aparat keamanan dengan para demonstran, yang akhirnya
dibubarkan. Selanjutnya, pada tanggal 3 Juli 1998 aksi mimbar bebas
digelar di Kampus Universitas Cenderawasih, Abepura Papua.
Ketiga, pada tanggal 2
Juli 1998 telah terjadi pengibaran bendera Bintang Kejora di Biak, yang
mana bendera dapat dikibarkan di atas menara tower pelabuhan. Pengibaran
bendera di Biak dapat dilakukan oleh 200 orang masa, yang dipimpin oleh
Drs. Filep Karma. Akibatnya aparat keamanan Pemerintah Republik
Indonesia bereaksi dengan melakukan penculikan yang disertai pembunuhan
terhadap para activis. Keesokan harinya, masyarakat telah menemukan
mayat dimana-mana di atas permukaan Laut. Pada tanggal 27 Juli 1998,
Sebby Sambom dan kawan-kawan telah tiba di pelabuhan Biak dan pernah
mengalami suatu teror yang berlebihan oleh aparat keamanan. Pelabuhan
Biak dijaga ketat oleh aparat keamanan, yang lengkap dengan persenjata
dan setiap penumpang yang turun dari Kapal diperiksa.
Keempat, pada tanggal 2 Juli 1998
lebih dari 4.000 masa telah melakukan demonstrasi di Kota Sorong sambil
mengibarkan bendera Bintang Kejora menuntut dilakukannya Referendum
bagi bangsa Papua di Papua Barat. Aksi demonstrasi ini bertahan 2 hari
dan berakhir dengan bentrokan antara aparat keamanan dengan para
demonstran.
Kebangkitan semangat perjuangan rakyat
bangsa Papua melalui gerakan aksi-aksi demonstrasi, yang signifikan itu,
dapat didorong oleh semangat nasionalisme dan sejarah kemerdekaan Papua
yang telah terbendam lama akibat tindakan keji aparat keamanan
Pemerintah Kolonial Republik Indonesia yang anti Hukum, HAM dan
Demokrasi.
Selanjutnya, pada tahun 1999 Mahasiswa,
Pemuda dan seluru rakyat bangsa Papua melakukan demonstrasi
besar-besaran di Jayapura dengan agenda menolak SK Presiden Republik
Indonesia tentang pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah dan Provinsi
Irian Jaya Barat. Para demonstran telah menduduki Kantor Gubernur Papua
dan bertahan selama 1 minggu, akhirnya Muspida Provinsi Papua (Irian
Jaya pada waktu itu) mengadakan sidang Istimewa di Kantor DPRD Irian
Jaya di Jayapura. Hasilnya, SK Presiden dipending dan ditiadakan. Sikap
demonstran tetap meuntut Referendum bagi bangsa Papua, di Papua Barat.
Dalam demo ini Activis HAM Independen Papua (Sebby Sambom) ikut serta
dan di delegasikan dalam sidang di Gedung DPRD Irian Jaya (pada waktu
itu) di Jayapura mewakili Mahasiswa Se-Jawa dan Bali. Kebangkitan
semangat juang rakyat bangsa Papua ini juga dapat didorong oleh surat
dari anggota senator /Congresman Amerika Serikat “Christopher Smith”
tertanggal 22 Mei 1998, yang ditunjukan kepada Presiden Republik
Indonesia (B.J. Habibie). Pada bulan yang sama pada tanggal 27 Mei 1998,
yayasan Robert Kennedy menyurat kepada Presiden Republik Indonesia
(B.J. Habibie) dengan isu yang mendesak. Isi kedua surat diatas pada
prinsipnya sama dan mendesak Presiden Republik Indonesia (B.J.Habibie),
agar segera melaksanakan Referendum bagi Bangsa Papua dan Bangsa Timor
Leste. Hasilnya, Timor Leste telah merdeka pada tahun 1999 melalui
pelaksanaan Referendum, yang ditangani langsung oleh Perserikatan
Bangsa-Bangsa.
Untuk meneruskan semangat nasionalime
rakyat bangsa Papua yang bangkit ini, berbagai pertemuan serta deklarasi
forum sebagai wadah guna mengakomodir aspirasi rakyat Papua telah
dilaksanakan dimana-mana. Misalnya, awal Mei 1998 Mahasiswa Papua di
Jogjakarta mendekalarasikan forum dengan nama (GEMPPAMI)”, Ketua Andy
Asmuruf dan Sekjen Yafet Agapa dalam Organisasi ini; pada tanggal 1
Agustus 1998 deklarasi “Forum Rekonsiliasi Rakyat Irian Jaya (FORERI)”,
di lantai tujuh Gedung Bank pembangunan Daerah Irian Jaya (BPD) atau
sekarang Bank Papua; kemudian pada tahun 1999 Mahasiswa Papua Se-Jawa
dan Bali mendeklarasikan organisasi politik dalam kalangan mahasiswa
yaitu, Aliansi Mahasiswa Papua-Internasional (AMP-I) dengan Ketua
Demianus Wanimbo dan Sekretaris Mr. Klen Rumasewu. AMP telah eksis di
Jawa dan Bali, dari tahun 1999 sampai tahun 2006. Dan selanjutnya,
banyak organisasi non komperatif yang lahir dalam komponen rakyat bangsa
Papua. Semua wadah ini adalah bertujuan yang sama yaitu, mendorong
agenda perjuangan guna lahirnya Self-Determination bagi Bangsa Papua di
Papua Barat.
Agenda selanjutnya, FORERI telah
melaksanakan suatu pertemuan bersama dengan wakil Pemerintah Indonesia
pada tanggal 31 Oktober 1998 di Hotel Mulia, Jakarta. Pihak Pemerintah
Indonesia dipimpin Abdul Kafur dan Dr. Phil Erari, sedangkan utusan
rakyat Papua dipimpin Dr. Benny Giay. Pertemuan dipandu oleh Akbar
Tanjung Sebagai Menteri Sekretaris Negara Republik Indonesia. Agendanya
adalah membahas pelaksanaan dan kerangka acuan Dialog Nasional, yang
dapat disetujui Presiden Republik Indonesia (B.J.Habibie) beberapa waktu
sebelumnya. Tindak lanjut dari pertemuan-pertemuan diatas, pada tanggal
16-17 Februari 1999 Pemerintah Republik Indonesia dan utusan Rakyat
Papua telah mengadakan suatu pertemuan. Agendanya adalah membahas atau
menyepakati pelaksanaan Dialog Nasional, antara Pemerintah Republik
Indonesia dangan utusan Rakyat Bangsa Papua Barat. Kesepakatanya adalah
“waktu dan tempat pelaksanaan Dialog, serta jumlah anggota atau peserta
Dialog” kemudian Dialog yang dimaksud telah dapat dilaksanakan pada
tanggal 26 Februari 1999, bertempat di Istana Negara Republik Indonesia,
Jakarta. Dialog ini dihadiri 21 Menteri Kabinet Reformasi, para Duta
Besar Negara sahabat, Panglima ABRI, dan utusan delegasi masyarakat
Papua berjumlah 100 orang yang dipimpin langsung oleh Tom Beanal,
mewakli bangsa Papua. Delegasi Papua yang telah mengikuti Dialog, dengan
Pemerintah Kolonial Republik Indonesia ini sering disebut Tim-100.
Dalam dialog ini delegasi Bangsa Papua telah mengajukan tiga tuntutan utama yaitu:
- Kami bangsa Papua berkehendak keluar dari Negara Kesatuan Republik Indonesia;
- Segera membentuk Pemerintahan Transisi di Papua Barat dibawah pengawasan Perserikatan Bangsa-Bangsa, secara demokratis, damai dan bertanggungjawab, yang slambat-lambatnya bulan Maret 1999;
- Jika tidak dicapai kedua butir pernyataan tuntutan diatas, maka segera diadakan perundingan Internasional antara Pemerintah Republik Indonesia-Rakyat Bangsa Papua dan Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Hasil dari proses perjuangan yang
dipengantarkan di atas dapat membawa puncak acara pelaksanaan Kongres
Papua II, untuk menetapkan agenda prioritas. Hasil serta pelaksanaan
Kongres Papua II dapat dijelaskan pada bagian bawah ini. Silakan simak!
Kongres Papua II lahir berdasarkan acuan
pada hasil MUBES, yang tertanggal 27 Februari 2000 di Hotel Sentani
Indah, Papua Barat. Dalam MUBES inilah menetapkan Resolusi dan mandat,
yang kemudian ditetapkan dalam Kongres Papua II. Kongres Papua II telah
dapat dilaksanakan dari tanggal 29 Mei sampai tanggal 4 Juni tahun 2000,
bertempat di Gedung Olah Raga Cenderawasih (Goor) Jayapura.
Kongres Papua II melahirkan sebuah wadah
Politik yaitu, Persidium Dewan Papua (PDP) sebagai Lembaga Politik
Resmi bagi Bangsa Papua Barat. Kongres Papua II juga memilih
pimpinan(ketua dan wakil serta anggota pengurus PDP), berdasarkan
kesepahaman dan keputusan Kongres. Dalam hal ini, Kongres Papua II telah
memilih 18 orang anggota PDP dari 25.000 peserta Kongres. Ke-18 anggota
PDP yang terpilih tersebut adalah: Theys H. Eluay dan Frans Albert Yoku
(Unsur Adat); Tom Beanal dan Isac Ayomi (Unsur Politisi); Herman Awom, H.Mud dan Said Sabuku (Perwakilan Agama); Dr.Benny Giay dan Don Flasy (Perwakilan Cendikiawan); Beatriks Koibur dan Betty Yabansabra (Perakilan Perempuan); Martinus Mambor dan Leo Imbiri (Perwakilan Mahasiswa); Eliaser Awom dan John Mambor (Perwakilan Tapol Papua); Fred Suebu dan Melkias Mandosir (Pelaku Sejarah); Andy Manobi dan Yakob Kasima (Perwakilan Pemuda);
Kemudian pemilihan angota-anggota Panel di setiap Kabupaten dan juga
Sekjen PDP (Taha Alhamid serta wakil Sekjen Agus Alue Alua dan Herman
Awom sebagai moderator) dengan perangkat lainnya.
2100
Kongres Papua II melahirkan tiga
Resolusi yang mendasar, dan sekaligus menetapkan tiga mandat yang
bersifat mendesak. Resolusi-Resolusi dan tiga mandat yang dimaksud
adalah:
1. Gugat terhadap sejarah pelaksanaan PEPERA 1969 yang dianggap cacat hukum dan moral;
2. Pengajuan pelaku-pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan ke Pengadilan Internasional (International Court of Justice);
3.Tuntutan pengakuan kedaulatan atas bangsa Papua Barat.
Sedangkan mandat-mandat yang ditugaskan pada PDP, sebagai Lembaga Politik Resmi rakyat bangsa Papua Barat adalah:
- Menggalang kampanye atau diplomasi di tingkat Internasional untuk mendapatkan pengakuan atas kedaulatan bangsa Papua Barat;
- Memperjuangkan ke Pengadilan Internaisonal untuk mengadili para pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan;
- Membentuk tim Independen untuk mengadakan perundingan.
Analisis
- Dari sejak tanggal 4 Juli 2000 sampai
10 November 2001 dalam agenda berjalan, pemimpin (Ketua PDP) “Theys
H.Eluay” telah dibunuh oleh Kopasus dengan jalan penculikan. Dengan cara
teror Pemerntah Colonial Republik Indonesia ini, bangsa Papua mengalami
kehilangan seorang tokoh. Akibatnya, mandat Kongres Papua II yang lahir
dari hasil Resolusi Kongres tidak dapat berjalan baik atau tidak
efektif dan tidak konsekwen. Semua pimpinan dan panel-panel PDP panik
dan bungkam disambar prahara senja angkas raya, serta dilematis;
- Semua pimpinan anggota penel PDP tidak
bergigi lagi dan sembunyi dibawah pajung Dewan Adat Papua, Tom Beanal
dan Willy Mandowen masing-masing menjadi komisaris PT.Freeport Indonesia
dan konsultan. Kemudian mendukung program kehancuran dan pemusnahan
gunung-gunung serta alam Nemangkawi di Tanah amungsa. Frans Albert Yoku
dan Nick Meset serta Nikolas Youwe melacurkan diri dengan gadis spionase
yang namanya NKRI dan sedang melacur-ria tanpa merasa berdosa dan tidak
tahu diri;
- Sebelas tahun telah berlalu, mandat
Kongres Papua II tidak dapat dilaksanakan dengan konsisten. Kenyataannya
hilang arah, sehinggah agenda tidak fokus. Hal ini terbukti dari
lahirnya Konsensus, kepemimpinan Kolektif dan Dialog Jakarta-Papua,serta
wacana Kongres Papua III.
Kesimpulan
- Wacana Dialog Jakarta-Papua dan
Kongres Papua III oleh forum kepemimpinan kolektif adalah agenda yang
tidak fokus dan membuang-buang energi serta waktu. Karena Dialog dan
Kongres serupa pernah dilaksanakan, namun hasilnya nihil dan justru
menghasilkan Otsus, MRP, Pemekaran Provinsi serta Kabupaten-kabupaten,
yang tidak dapat menguntungkan rakyat asli Papua. Artinya, sama saja;
- Untuk dapat menyerangkannya, boleh
ikuti archive Release yang Activis HAM Independen Papua (Sebby Sambom)
pernah kirim ke Redaksi Bintang Papua pada tanggal 1 April 2011. Release
ini tidak pernah dimuat, dan saat kami tanya kembali ke redaksi,
jawabannya tidak masuk logika. Oleh karena itu, kami lampirkan dalam
article yang baru ini. Silakan simak!
————————————————————————————————————————
Lampiran
Menangkapi dialog Jakarta-Papua yang didorong oleh JDP pada media cetak “Bintang Papua” Sabtu 26 Maret 2011
TPN-OPM dengan rakyat bangsa Papua tidak
berjuang untuk dialog damai seperti yang dimuat pada media cetak harian
(Bintang Papua) terbitan hari sabtu 26 Maret 2011 pada headlinenya
dapat dimuat pernyataan koordinator Jaringan Damai Papua (JDP) “Pastor
Neles Tebay” menyatakan bahwa 32 orang yang masuk dalam keanggotaan JDP
masih terus mendorong terwujudnya suatu dialog damai antara pemerintah
Indonesia dan Rakyat Papua, untuk menyelesaikan masalah Papua. Dalam sub
thema liputan ini, Neles Tebay menyatakan bahwa wakil TNP-OPM belum
ada.
Oleh karena itu, activis HAM Independen
Papua (Sebby Sambom) dari penjara LP Narkotika Doyo, Sentani Papua
memberikan tanggapan atas pernyataan Jaringan Damai Papua di atas
sebagai berikut:
Pertama, mengapa TPN-OPM belum ada dalam keanggotaan JDP?
Kedua, mengapa dialog dimediasikan oleh pemain dengan pemain dan bukan oleh wasit yang netral?
Ketiga, mengapa 45 orang Papua
yang datang dari PNG secara resmi memberikan dukungan dengan penuh
antusias, namun TPN/OPM yang bertahan dihutan dan perjuang dengan gigih
dari tahun ke tahu tidak dilibatkan?
Keempat, mengapa harus dialog damai Jakarta dan Papua?
Untuk menjawab keempat pertanyaan
diatas, maka kita perlu menyelaskan arkumentasi yang mendasar dan logis
dalam bait tanggapan ini.
Yang dimaksud adalah:
- TPN-OPM adalah “JIWA dan ROH” dari pada perjuangan rakyat Bangsa Papua Barat, untuk menentukan nasib sendiri berdasarkan article 1 paragraph 1, 2 dan Paragraph 3 The International Covenant On Civil and Political Rights yang diterima dan disahkan dalam sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 16 Desember 1966 di Kantor Markas Besar PBB di New York, Amerika Serikat;
- TNP-OPM bersama rakyat bangsa Papua Barat berjuang untuk pengakuan atas hak politik Bangsa Papua Barat, yang telah persiapkan pada tanggal 1 Desember 1961 di Port Numbay. Maka TNP-OPM dengan rakyat yang berjuang tahu bahwa secara defakto Pemerintah Belanda telah mengumumkan embrio negara untuk kemerdekaan Papua pada 1 Desember 1961 berdasarkan Resolusi PBB Nomor 1514 (XV) tentang dekolonisasi, dan selanjutnya Pemerintah Belanda sedang dalam upaya pelaporan ke Sekjen PBB atas Deklarasi persiapan Kemerdekaan yang dimaksudkan untuk disahkan dalam Sidang Majelis Umum PBB secara dejure namun ternyata Indonesia keburu Invasi Papua Barat berdasarkan maklumat Trikora 19 Desember 1961 dengan dukungan Amerika Serikat dan PBB secara tertutup;
- TPN-OPM dengan rakyat yang berjuang tahu pasti atas letak persoalan Papua, dan memahami benar bahwa mereka tidak melakukan kesalahan terhadap Pemerintah Indonesia. Namun Pemerintah Republik Indonesia yang telah dan sedang melakukan kesalahan dengan aneksasi Papua Barat melalui Invasi militer pada 1 Mei 1963 dan selanjutnya Pemerintah Indonesia melaksanakan PEPERA 1969 di Papua Barat dengan penuh teror, intimidasi, manipulatif serta rekayasa dengan jalan operasi-operasi militer, yang akhirnya PEPERA dilaksanakan tidak Demokratis, cacat secara hukum Internasional dan cacat secara moral;
- Bagi TPN-OPM dengan rakyat yang berjuang atas Hak Politik Menentukan Nasib Sendiri tidak ada dialog damai antara Pemerintah RI di Jakarta dan Papua, karena status politik Papua Barat sudah jelas bahwa siapa yang salah dan sedang melakukan kesalahan yang melanggar Hak-Hak Asasi Manusia bangsa Papua Barat. Dengan demikian, maka Pemrintah RI yang sepatutnya mengakui kesalahan dan meminta maaf kepada bangsa Papua Barat dan dengan bijaksana memberikan opsi Referendum bagi bangsa Papua demi menciptakan pendamaian dunia. Dengan cara inilah Pemerintah Indonesia akan dihargai oleh masyarakat Internasional, bahwa Indonesia adalah Negara Hukum yang berdemokrasi tulen se-jagad;
- TPN-OPM mengetahui bahwa dialog Jakarta-Papua yang didorong oleh “Jaringan Damai Papua” tidak akan memberikan keuntungan bagi rakyat bangsa Papua Barat yang berjuang untuk hak politik “ Penentuan Nasib Sendiri” (Self-Determination). Kerena TPN-OPM dengan rakyat yang berjuang adalah orang-orang yang beradab dan tahu adat serata tahu etika. TPN-OPM dengan rakyat yang berjuang atas Hak Politik Menentukan Nasib Sendiri adalah bukan makar Gerakan Pengacau Keamanan (GPK), Gerakan Pengacau Liar (GPL), separatis dan stigma-stigma lainnya yang Pemerintah Indonesia stikamakan salama ini;
- TPN-OPM dengan rakyat yang berjung atas hak politik penentuan nasib sendiri (Self-Determination), lebih tertarik dengan agenda penjelesaian masalah Papua yang didorong oleh IPWP untuk memperjuangkan melalui jalur politik dan ILWP melalui jalur Hukum guna gugat keabsahan PEPERA 1969 di Papua Barat ke Makhamah Internasional (International Court of Justice);
Karena pada tanggal 2 Agustus 2011 ada
Konferensi Internasional yang akan siselenggarakan oleh “International
Lawyer for West Papua” di London UK yang dikordinir langsung oleh Mrs.
Melinda Janki (Ketua ILWP).
Untuk diketahuinya bahwa ILWP telah
mempunyai atau memiliki 52 anggota tim kuasa hukum dari Uni Eropa dan 12
anggota dari Pasific yang dikordinir oleh PNG dan Salomon Island, maka
ILWP kini memiliki 64 anggota tim kuasa hukum yang siap mengajukan
materi gugatan atas pelaksanaan PEPERA 1969 di Papua Barat ke Makhamah
Internasional.
Konverensi Internasional yang didorong
oleh ILWP adalah untuk menetapkan materi gugatan serta pengajuan materi
sebelum mengajukan gugatan ke Makhama Internasional.
Dalam konferensi ini akan dihadiri
pengamat dari kantor “ International Court of Justice” , Human Rights
Watch, Amnesty International, NGoS HAM Intenasional, Akademisi dari
berbagai Universitas di dunia dan termasuk guru besar dari “University
of the Telaviv Israel”.
Dengan demikian, maka sikap TPN-OPM
dengan rakyat yang berjuang atas hak politik menentukan nasib sendiri
sudah jelas. Artinya, TPN-OPM tidak bisa membuang energi yang sia-sia.
Demikian harap maklum !
LP Narkotika Doyo, Sentani 4 April 2011
—————————————————————————————————————-
Pesan Akhir
Dengan membaca dan mempelajari uraian
dalam Kilasbalik Lahirnya Kongres Papua II dalam article ini, maka kami
harap dan mengajak seluruh komponen Bangsa Papua di Papua Barat agar
kita kerja konsisten dan terfokus sesuai komitmen bersama demi
mewujudkan cita-cita luhur Bangsa Papua.
Dan janganlah hendaknya kita memaksakan
kehendak, kita sendiri namun marilah kita melaksanakan amanat rakyat
bangsa Papua Barat dengan rendah hati, jujur, bijaksana dan setia.
Janganlah kita gentar karena teror oleh musuh yang tidak berdasar,
karena perjuangan rakyat bangsa Papua Barat adalah perjuangan suci untuk
membebaskan umat Tuhan di tanah Papua yang sedang menuju pemusnahan,
akibat tindakan keji aparat keamanan Pemerintah Colonial Republik
Indonesia.
Maju bersama bimbingan Roh Tuhan, Roh
Moyang dan Roh Alam, ada kuasa dan hikma disana. Maju terus dan Lawanlah
dusta diatas Tanah Leluhur kami Bangsa Papua. Selamat berjuang!
Demikian, Kilas Balik Lahirnya Kongres
Papua II ini dapat diperbaharui oleh Admin WPNLA dan di update kembali
untuk dapat di ketahui oleh semua orang Papua yang masih berjuang. Bagi
Anda yang belum sempat membaca, silakan membaca dan mempelajarinya.
Kiranya publik memahaminya dengan baik dan dapat dilaksanakannya. Terima
kasih atas perhatian Anda.
Salam Revolusi untuk Pembebasan.
Dikeluarkan Di : Markas Pusat
Pada Tanggal : 23 Januari 2013
Admin WPNLA 2013
0 komentar:
Posting Komentar